Divisi88news.com, Balikpapan — Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai wilayah calon Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dinilai memiliki posisi strategis yang menuntut kesiapan institusi kepolisian dalam menghadapi kompleksitas persoalan agraria, lingkungan hidup, dan pertambangan. Oleh karena itu, reformasi Polri perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP), Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, dalam pertemuan bersama tokoh perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, serta tokoh adat—termasuk perwakilan masyarakat Dayak—di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Balikpapan, Selasa (16/12/2025).
Dalam forum tersebut, para peserta diskusi menekankan pentingnya netralitas kepolisian ketika menghadapi konflik antara masyarakat dengan korporasi, khususnya yang berkaitan dengan persoalan agraria dan kerusakan lingkungan.
“Jika terjadi konflik agraria dan lingkungan antara masyarakat dan korporasi, polisi harus berdiri di tengah. Tidak memihak kepentingan bisnis, tidak memihak politik, melainkan melayani dan melindungi masyarakat,” tegas Jimly.
Ia menjelaskan bahwa berbagai masukan yang disampaikan dalam pertemuan tersebut, termasuk dampak aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat adat, akan menjadi bahan penting dalam penyusunan kebijakan reformasi Polri ke depan.
Menurut Jimly, kebijakan tersebut berpotensi dituangkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah (PP), atau peraturan presiden (Perpres), serta dapat memengaruhi evaluasi terhadap Peraturan Kepolisian (Perpol) yang berlaku saat ini.Lebih lanjut, ia menekankan bahwa reformasi kepolisian tidak boleh berhenti pada perubahan struktural semata, tetapi juga harus menyentuh aspek kultural dan instrumental, agar implementasinya berjalan efektif di lapangan.
Menanggapi pertanyaan wartawan terkait penugasan anggota Polri di luar jabatan kepolisian pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly menyatakan bahwa persoalan tersebut masih akan dibahas lebih lanjut karena melibatkan banyak institusi negara.
“Idealnya pengaturan ini berada pada regulasi yang lebih tinggi, minimal Perpres, bahkan lebih baik dalam bentuk PP, karena menyangkut aparatur sipil negara dan berbagai kementerian,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 56 hingga 57 instansi di Indonesia yang memiliki kewenangan penyidikan, sehingga diperlukan penataan ulang kewenangan agar tidak tumpang tindih.
“Ke depan, Perpol sebaiknya fokus pada urusan administratif internal kepolisian. Jika sudah bersinggungan dengan lembaga lain, maka pengaturannya harus berada pada regulasi yang lebih tinggi,” pungkas Jimly.
(Eko Buton/Div.88)


0Komentar